Parajaeja dalam Pernikahan di Kedatuan Kalola
Parajaeja
Parajaeja dalam Pernikahan di Kedatuan Kalola
Kedatuan Kalola
Wlayah
Kerajaan Kalola saat itu antara lain Mattirowalie, Sogi, Abbanuang, Kalola,
Minangatellue, dan Tangkoli. Kondisi masyarakat pada kala itu masih mengenal
hukum adat dan memiliki prinsip “Tana Rigella” yakni tanah yang memiliki sistem
sendiri (otonomi) yang berarti bahwa masyarakatnya tidak tunduk pada Kerajaan
Wajo dan Kerajaan Luwu tapi dilindungi oleh kedua Kerajaan tersebut.
Kata “Rigella”
berarti pohon kayu yang dikupas kulitnya atau semacam di cangkok. Salah satu
wujud dari otonomi tersebut dapat dilihat dalam pengelolaan lahan pertanian
yakni masyarakat mengikuti aturan-aturan yang ada dalam buku “Tunrung Datu
Kalola” yang telah tentukan oleh pihak Kerajaan Kalola.
Pada zaman
penjajahan sekitar tahun 1920-1930-an wilayah Kerajaan Kalola menjadi Distrik
Bawahan Kalola kemudian perkembangan berikutnya Distrik Bawahan Kalola tersebut
menjadi wanua Kalola. Pada masa ini, sebagai daerah dengan potensi lahan
pertanian yang luas maka masyarakat mengelola wilayah pertanian secara
bersama-sama (komunal) dan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan secara
bersama.
Hingga pada
tahun 1930-1940-an, saat perang bergejolak melawan Belanda, masyarakat mulai
melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan cara bergerilya yang dipimpin
oleh Putra Datu Kalola yakni Datu Sulung dan Andi Bau Werang.
Memasuki
periode pasca kemerdekaan tepatnya antara tahun 1947-1949 terjadi kekosongan
pemerintahan. Hal ini dipicu oleh karena Datu Kalola pindah ke Sengkang seiring
dengan masa peralihan sistem kelembagaan pemerintahan di Indonesia dari
kerajaan menjadi sebuah daerah yang otonom dalam sistem kelembagaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah
bergabung maka secara otomatis daerah kekuasaan Kerajaan yang berbentuk
wanua-wanua berubah menjadi desa atau kecamatan seperti sekarang ini.
Pada tahun
1950 – 1966 situasi keamanan semakin tidak stabil, ternak-ternak warga dirampas
oleh pemberontak. Hingga sebahagian besar masyarakat memilih untuk keluar
merantau. Penduduk Desa semakin tidak ramai hingga rumah-rumah penduduk dapat
dihitung dengan jari.
Situasi sulit
tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1970-1973 saat kondisi desa mengalami
kemarau panjang dan menyebabkan masyarakat desa banyak yang kelaparan. Nanti pada
tahun 1976 kondisi desa mulai cukup stabil, masyarakat mulai kembali berkumpul
dan membentuk perkampungan.
Masyarakat
bergotong royong memindahkan (mengangkat) rumah warga yang berada di wilayah
gunung untuk disatukan menjadi bentuk perkampungan. Selain itu, para perantau
pun mulai berdatangan, fasilitas-fasilitas umum mulai didirikan seperti Sekolah
Rakyat (SR), sarana ibadah, dan jalan raya.
Bendungan Kalola di Desa Sogi, Kecamatan Maniangpajo,
Kabupaten Wajo, Kota Sengkang ( Siengkang ) Provinsi Sulawesi Selatan.
Upacara Adat
Parajaeja dalam Pernikahan di Kedatuan Kalola.
Upacara Adat ini merupakan upacara adat yang wajib dilaksanakan di acara pernikahan. Parajaeja merupakan pembacaan doa - doa dan pesan - pesan kepada kedua mempelai pengantin. Adat ini umum dilaksanakan oleh Suku Bugis di wilayah Sulawesi, Khususnya Eks Kedatuan Kalola.
Salam seni dan budaya
Datang dan saksikan Malam Adat Tradisi “Parajaeja dan Pa’kacapi”
di posko 2 KKN ISBI SULSEL desa Sogi kecamatan Maniangpajo kabupaten Wajo
Komentar
Posting Komentar