Kisah BUNRANG Pementasan Teater "Bunrang" Pada PTKSI #6 Surabaya (Full Version)
Bunrang dan Tradisi yang PUNAH
Budaya Cikoang Yang Dihancurkan oleh DI / TII
Video Dukumentasi Teater Pertunjukan Bunrang oleh Mahasiswa ISBI Sulawesi Selatan.
mengangkat rekontruksi cerita Bunrang dari Tanah Cikoang
Maudhu Lompoa :
merupakan tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang
digelar komunitas Muslim Cikoang di Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan. Dalam bahasa Makassar, Maudhu artinya maulid
dan lompoa artinya besar.
Maudhu Lompoa berarti Maulid Besar. Upacara #MaudhuLompoa ini berawal dari perayaan ka’do minyak (sesuai nama makanan yang disajikan yakni ka’do minyak atau nasi ketan) yang dilakukan oleh Sayyid Jalaluddin pada tanggal 12 Rabiul Awal 1025 H, bertepatan dengan tanggal 11 November 1605.
Perayaan tersebut dihadiri oleh para pembesar sembilan kerajaan besar sat itu, yaitu Sumbawa, Gowa, Bone, Luwuk, Sanrobone, Buton, Galesong, Binamu dan Laikang. Lima belas tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Rabbiul Awal 1040 H (1620 M) pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad di #Cikoang ini dinamakan Maudhu Lompoa.
#Sayyid Jalaluddin adalah tokoh penyebar agama Islam di #Sulawesi yang dikenal sebagai pendakwah yang tidak berusaha menghapuskan tradisi masyarakat yang sudah ada.
Dalam legendanya, Sayyid Jalaluddin berhadapan dengan tokoh-tokoh lokal Cikoang, I Bunrang dan I Danda, yang sebelumnya menolak kedatangan para pendakwah agama Islam. Setelah berdialog dengan Sayyid Jalaluddin mereka justru menerimanya menjadi guru mereka karena Sayyid Jalaluddin memperkenalkan agama Islam yang moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan setempat. Salah satu yang diperkenalkan Sayyid Jalaluddin pada masyarakat Cikoang adalah perayaan maulid nabi yang kemudian dikenal masyarakat dengan nama #Maudhu Lompoa.
Saat acara perayaan berlangsung Sungai Cikoang dipenuhi dengan puluhan perahu hias yang mengarak telur-telur menuju lokasi perayaan Maudhu Lompoa. Maudhu Lompoa berbeda dengan peringatan Maulid yang lazim dilaksanakan orang Islam di Sulawesi Selatan. Misalnya dalam sejumlah perlengkapan upacara. Pada upacara Maudhu Lompoa terdapat julung-julung (sejenis perahu nyang diibaratkan sebagai tumpangan Syekh Jalaluddin pada zaman dulu) dan juga Kandawari (tempat telur, nasi ketan dan ayam disimpan).
Selain itu, Komunitas Cikoang percaya bahwa peringatan maulid juga dilakukan pula oleh Nabi Muhammad sendiri . Mereka percaya bahwa ada tiga cara memperingati maulid nabi, yaitu memperingati kehadiran Muhammad di alam Nur, memperingati kehadiran Muhammad di alam rahim, serta memperingati kehadiran Muhammad di alam nyata atau dunia ini. Upacara yang dilakukan di Cikoang adalah perayaan maulid Nabi Muhammad di alam Nur dan bukan di alam dunia sebagaimana yang lazim dilakukan orang Islam lainnya. Sehingga dalam perayaan maulid di sini semua masyarakat Cikoang yakin bahwa ruh Nabi Muhammad juga hadir.
Prosesi upacara Maudhu Lompoa sudah dimulai sejak bulan Safar, dengan melakukan je’ne-je’ne sapparang (mandi bulan safar) sambil mempersiapkan berbagai kelengkapan acara. Sebelum puncak acara, pelaksanaan maulid diadakan secara bergilir dari rumah ke rumah para sayyid dengan pembacaan kitab barzanji (kitab sejarah Nabi Muhammad) yang dikenal dengan nama anrate yaitu membaca barzanji dengan lagu dan irama lokal.
Maudhu Lompoa berarti Maulid Besar. Upacara #MaudhuLompoa ini berawal dari perayaan ka’do minyak (sesuai nama makanan yang disajikan yakni ka’do minyak atau nasi ketan) yang dilakukan oleh Sayyid Jalaluddin pada tanggal 12 Rabiul Awal 1025 H, bertepatan dengan tanggal 11 November 1605.
Perayaan tersebut dihadiri oleh para pembesar sembilan kerajaan besar sat itu, yaitu Sumbawa, Gowa, Bone, Luwuk, Sanrobone, Buton, Galesong, Binamu dan Laikang. Lima belas tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Rabbiul Awal 1040 H (1620 M) pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad di #Cikoang ini dinamakan Maudhu Lompoa.
#Sayyid Jalaluddin adalah tokoh penyebar agama Islam di #Sulawesi yang dikenal sebagai pendakwah yang tidak berusaha menghapuskan tradisi masyarakat yang sudah ada.
Dalam legendanya, Sayyid Jalaluddin berhadapan dengan tokoh-tokoh lokal Cikoang, I Bunrang dan I Danda, yang sebelumnya menolak kedatangan para pendakwah agama Islam. Setelah berdialog dengan Sayyid Jalaluddin mereka justru menerimanya menjadi guru mereka karena Sayyid Jalaluddin memperkenalkan agama Islam yang moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan setempat. Salah satu yang diperkenalkan Sayyid Jalaluddin pada masyarakat Cikoang adalah perayaan maulid nabi yang kemudian dikenal masyarakat dengan nama #Maudhu Lompoa.
Saat acara perayaan berlangsung Sungai Cikoang dipenuhi dengan puluhan perahu hias yang mengarak telur-telur menuju lokasi perayaan Maudhu Lompoa. Maudhu Lompoa berbeda dengan peringatan Maulid yang lazim dilaksanakan orang Islam di Sulawesi Selatan. Misalnya dalam sejumlah perlengkapan upacara. Pada upacara Maudhu Lompoa terdapat julung-julung (sejenis perahu nyang diibaratkan sebagai tumpangan Syekh Jalaluddin pada zaman dulu) dan juga Kandawari (tempat telur, nasi ketan dan ayam disimpan).
Selain itu, Komunitas Cikoang percaya bahwa peringatan maulid juga dilakukan pula oleh Nabi Muhammad sendiri . Mereka percaya bahwa ada tiga cara memperingati maulid nabi, yaitu memperingati kehadiran Muhammad di alam Nur, memperingati kehadiran Muhammad di alam rahim, serta memperingati kehadiran Muhammad di alam nyata atau dunia ini. Upacara yang dilakukan di Cikoang adalah perayaan maulid Nabi Muhammad di alam Nur dan bukan di alam dunia sebagaimana yang lazim dilakukan orang Islam lainnya. Sehingga dalam perayaan maulid di sini semua masyarakat Cikoang yakin bahwa ruh Nabi Muhammad juga hadir.
Prosesi upacara Maudhu Lompoa sudah dimulai sejak bulan Safar, dengan melakukan je’ne-je’ne sapparang (mandi bulan safar) sambil mempersiapkan berbagai kelengkapan acara. Sebelum puncak acara, pelaksanaan maulid diadakan secara bergilir dari rumah ke rumah para sayyid dengan pembacaan kitab barzanji (kitab sejarah Nabi Muhammad) yang dikenal dengan nama anrate yaitu membaca barzanji dengan lagu dan irama lokal.
Garis Keturunan Rosullullah, Sayyid Djalaluddin :
Pada abad ke 16 seorang tokoh keturunan Nabi Muhammad SAW ke 27,
beliau juga cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, yang
memiliki garis keturunan dari Arab Handramaut di Arab Selatan beliau
adalah Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al' Aidid tiba di kerajaan
Goa. Saat itu masa pemerintahan kerajaan Goa yang dipimpin oleh Sultan
Alauddin. Berjalan waktu Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid diangkat menjadi Mufti kerajaan oleh Sultan Alauddin dan diberi nama Muhammad al-Baqir I Mallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin.
Kemudian beliau menikahi seorang puri bangsawan Kerajaan Gowa
bernama I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin. Namun
beliau tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari Sombaya di Gowa
disebabkan kurang jelasnya jalur keturunan Sayyid Djalaluddin Al'Aidid.
Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al'Aidid pamit pada Sombaya di Gowa dan
kemudian menitipkan istrinya ara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir
Alauddin di Balla Lompoa, Gowa.
Pada suatu saat ara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin meninggalkan Balla Lompoa dengan berbekal sehelai sajadah sebagai kendaraan pribadinya dan sebuah tempat air wudhu
(cerek) menemaninya. Tidak memerlukan waktu yang lama Sayyid
Djalaluddin Al'Aidid tiba disebelah utara pulau Tanakeke, dilanjutkan ke
sebelah utara Sungai Bontolanra, Parappa, Sanrobone, dan Sungai
Maccinibaji.
Pada saat yang sama di sebelah utara hulu sungai yaitu muara sungai Cikoang, I Bunrang (kesatria Cikoang) memasang kuala.
Lalu, di sebelah selatan hulu sungai, I Danda (kesatria Cikoang) juga
memasang kuala. Esoknya, I Danda dan I Bunrang melihat sebuah benda
berbentuk kapal laut besar lewat di sebelah utara Tompo’tanah,
kemudian kapal besar tersebut berubah bentuk menjadi sebuah benda yang
mengeluarkan cahaya. Kedua kesatria Cikoang itu bergegas mendayung
perahu mereka mendekat, keduanya kemudian tercengang ternyata benda
bercahaya itu adalah wujud seorang manusiaduduk bersila menggenakan baju
jubah di atas sajadah dengan sebuah cerek untuk air wudhu, dialah di
Sayyid Djalaluddin Al'Aidid. Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al'Aidid diajak
ke perahu I Danda dan I Bunrang menuju tepi sungai Cikoang dan bekerja
mereka akhirnya menjadikan I Danda dan I Bunrang bekerja mengabdi pada
Sayyid Djalaluddin Al'Aidid. Sejalan waktu Sayyid Djalaluddin Al'Aidid
mengutus I Danda dan I Bunrang menjemput istri tercintanya yaitu I
Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin di Balla Lompoa
Gowa. Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al'Aidid menetap di Cikoang dan
memimpin jamaah masyarakat desa Cikoang. Tradisi Mandi Syafar
mulai dilakukan pertama kali oleh Sayyid Djalaluddin Al'Aidid pada 10
Syafar 1025 H yaitu saat memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad yang
jatuh pada tanggal al 1025 Hijriah atau 11 November 1605 Masehi
Hancur dan Punahnya Maulid Lompoa:
Pada 20 Januari 1952, ketika Kahar Mudzakkar menyatakan mendukung pergerakan DI/TII pimpinan Katosoewirjo di Jawa Barat, dan menjadikannya sebagai panglima Divisi IV TII (disebut pula Divisi Hasanuddin), beragam teror terjadi. Pada 1 Januari 1955, Kahar menjadi Wakil Pertama Menteri Pertahanan NII yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Christian Pelras dalam Manusia Bugis (2006) juga menyinggung bahwa Bissu—yang dulu penasihat spiritual raja Bugis di Sulawesi Selatan—jadi korban gerombolan. Mereka dipaksakan menjadi seperti laki-laki umumnya. Bissu dianggap tidak mencerminkan kehidupan Islami.
Beberapa aksi juga dilakukan termasuk menghilangkan praktik-praktik tradisional di Sulawesi Selatan. Selain itu, gerakan pemberontakan ini juga menghapuskan penggunaan gelar-gelar bangsawan seperti Andi, Daeng, Puang, Bau, dan Opu. Sebagai gantinya, sapaan yang diperbolehkan adalah menggunakan kata ‘Bung’.
Pada 20 Januari 1952, ketika Kahar Mudzakkar menyatakan mendukung pergerakan DI/TII pimpinan Katosoewirjo di Jawa Barat, dan menjadikannya sebagai panglima Divisi IV TII (disebut pula Divisi Hasanuddin), beragam teror terjadi. Pada 1 Januari 1955, Kahar menjadi Wakil Pertama Menteri Pertahanan NII yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Christian Pelras dalam Manusia Bugis (2006) juga menyinggung bahwa Bissu—yang dulu penasihat spiritual raja Bugis di Sulawesi Selatan—jadi korban gerombolan. Mereka dipaksakan menjadi seperti laki-laki umumnya. Bissu dianggap tidak mencerminkan kehidupan Islami.
Beberapa aksi juga dilakukan termasuk menghilangkan praktik-praktik tradisional di Sulawesi Selatan. Selain itu, gerakan pemberontakan ini juga menghapuskan penggunaan gelar-gelar bangsawan seperti Andi, Daeng, Puang, Bau, dan Opu. Sebagai gantinya, sapaan yang diperbolehkan adalah menggunakan kata ‘Bung’.
“Maka tak heran, dalam Piagam Makkalua
dinyatakan perang terhadap aristokrat yang tidak mau membuang gelarnya,"
demikian pula pembantaian terhadap kelompok-kelompok mistik yang fanatik".
Isi piagam itu benar-benar dilaksanakan Kahar. Di wilayah Pangkep dilaksanakan Operasi Tobaq(Tobat). Pasukan DI/TII menggerebek dan memburu semua waria termasuk bissu.
Para waria dan bissu yang tertangkap akan diberikan pakaian maskulin dan cangkul untuk kemudian dipaksakan mengerjakan pekerjaan yang dianggap sebagai kodrat laki-laki seperti mencangkul dan menggarap sawah. jika tidak , akan dibantai secara keji, bahkan adanya penyiksaan dan mutilasi kepada kaum - kaum keyakinan lokal (penganut animisme dan dinamisme ) yang dianggap musrik.
Bissu Saidi (almarhum) melalui wawancaranya di laman Historia pada tahun 2011, mengenang peristiwa itu sebagai sebuah bencana yang mengerikan.
Dia bersama teman-temannya melewati hutan dan berlari menuju Bone.
“Kalau didapati, digerekki, nak,” katanya.
Pada masa DI/TII, perayaan
Maudhu Lompoa dinyatakan sebagai upacara terlarang. DI/TII pimpinan
Kahar Muzakkar menganggap perayaan tersebut bertentangan dengan ajaran
agama karena mengandung bid’ah dan khurafat.
Meski DI/TII sudah tidak ada, bahkan pada 13 September 1960 Partai Masyumi pun dibubarkan sebulan sejak Keppres Nomor 200/1960 dikeluarkan, negara tetap meredam kemungkinan-kemungkinan terbentuknya kembali kelompok-kelompok yang ingin mengubah dasar negara Pancasila.
Pemerintah Membangkitkan Kembali :
Dalam perkembangannya, perayaan Maudhu Lompoa menjadi atraksi pariwisata. Selama satu minggu diadakan pameran dengan stan-stan yang berjejer di lapangan Cikoang. Selain itu juga diadakan berbagai macam perlombaan seperti lomba perahu, lomba mengaji ala Cikoang, pertandingan qasidah, panjat pinang, hingga pentas hiburan musik dangdut.
Perayaan yang semakin besar dan menarik minat warga diluar Takalar mendorong pemerintah setempat turut berpartisipasi dalam perayaan ini dan mendorongnya sebagai tujuan wisata. Salah satunya adalah dengan membuat panitia resmi perayaan Maudhu Lompoa melalui SK Bupati. (Sumber: Ensiklopedia NU)
Meski DI/TII sudah tidak ada, bahkan pada 13 September 1960 Partai Masyumi pun dibubarkan sebulan sejak Keppres Nomor 200/1960 dikeluarkan, negara tetap meredam kemungkinan-kemungkinan terbentuknya kembali kelompok-kelompok yang ingin mengubah dasar negara Pancasila.
Pemerintah Membangkitkan Kembali :
Dalam perkembangannya, perayaan Maudhu Lompoa menjadi atraksi pariwisata. Selama satu minggu diadakan pameran dengan stan-stan yang berjejer di lapangan Cikoang. Selain itu juga diadakan berbagai macam perlombaan seperti lomba perahu, lomba mengaji ala Cikoang, pertandingan qasidah, panjat pinang, hingga pentas hiburan musik dangdut.
Perayaan yang semakin besar dan menarik minat warga diluar Takalar mendorong pemerintah setempat turut berpartisipasi dalam perayaan ini dan mendorongnya sebagai tujuan wisata. Salah satunya adalah dengan membuat panitia resmi perayaan Maudhu Lompoa melalui SK Bupati. (Sumber: Ensiklopedia NU)
Sumber ;
http://www.nu.or.id/post/read/40758/maudhu-lompoa
Abdurrahman, Muhammad Nur. "Uniknya Peringatan Maulid Nabi 'Maudu Lompoa' di Cikoang Sulsel"
Kaya, Indonesia. "Maudu Lompoa: Ketika Peringatan Agama Islam Bercampur dengan Kearifan Lokal - Situs Budaya Indonesia"
Karim, Muhammad Yusuf. 14 Juli 2018. http://pn-enrekang.go.id
Mattalioe, Bahar. 1994. Pemberontakan Meniti Jalur Kanan, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nawir. 2000. Sejarah dan Budaya Massenrempulu, Makassar : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Mattalioe, Bahar. 1994. Pemberontakan Meniti Jalur Kanan, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nawir. 2000. Sejarah dan Budaya Massenrempulu, Makassar : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Dijk, C. Van. 1983. Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Press.
Gonggong, Anhar. 2004. Abdul Kahar Muzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak, Yogyakarta: Ombak.
Hafied, M. Yunus. 1991/1992. Masssenrempulu Menurut Catatan D. F. Van Braam Morris diterjemahkan oleh H. A. M. Mappasanda. 1991. Ujung Pandang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar Dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Press.
Gonggong, Anhar. 2004. Abdul Kahar Muzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak, Yogyakarta: Ombak.
Hafied, M. Yunus. 1991/1992. Masssenrempulu Menurut Catatan D. F. Van Braam Morris diterjemahkan oleh H. A. M. Mappasanda. 1991. Ujung Pandang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar Dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Press.
Komentar
Posting Komentar